Usulan Wakil Menteri PKP, Fahri Hamzah, yang mendorong masyarakat tinggal di hunian vertikal melalui penerapan pajak tinggi bagi rumah tapak di kota, mendapat sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri. Menurutnya, pendekatan represif bukanlah solusi tepat dalam menyikapi kebutuhan hunian masyarakat.


“Mungkin niatnya supaya Indonesia semakin modern seperti negara-negara maju, tapi harus dilihat dulu, Indonesia sudah siap belum? Banyak infrastruktur pendukung dan fasilitas layanan belum optimal,” ujar Irine dalam pernyataan resmi yang diterima wbindonesia.com pada Senin (16/6/2025).


Ia menilai, peralihan dari rumah tapak ke hunian vertikal harus berjalan secara bertahap dan alami, tidak bisa dipaksakan lewat kebijakan fiskal. Hal ini mengingat banyak masyarakat Indonesia yang masih sangat bergantung pada nilai-nilai sosial di lingkungan tempat tinggalnya, seperti budaya ronda atau gotong royong.


“Belum semua orang di Indonesia bisa hidup dengan budaya tinggal di hunian vertikal seperti apartemen yang biasanya hidup lebih tertutup,” imbuh politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu.


Lebih lanjut, lrine mengingatkan pentingnya kajian mendalam dan keterlibatan para pemangku kepentingan sebelum menerapkan kebijakan besar seperti ini.


“Perlu kajian mendalam terlebih dulu melalui diskusi dengan pengembang, BPN, masyarakat, pemda, dan pihak terkait lainnya. Jangan asal buat kebijakan, apalagi kalau hanya bersifat coba-coba,” tegasnya.


Menurut Irine, pemerintah dalam hal ini Kementerian PKP, harus lebih dulu memikirkan kondisi budaya indonesia. Di mana warganya memiliki budaya dengan tingkat sosial yang tinggi, misalnya melaksanakan ronda bersama, dan aktivitas kemasyarakatan lainnya yang jarang ditemukan di hunian vertikal. 


“Bisa berubah? Ya pasti bisa, seperti di negara-negara maju. Toh juga sekarang sudah cukup banyak warga Indonesia yang memilih tinggal di apartemen. Tapi untuk secara keseluruhan, pasti butuh proses, tidak ujug-ujug bisa langsung. Jadi perubahan kultur dari rumah tapak ke hunian vertikal, biarkan berjalan alamiah, tidak bisa dipaksakan lewat kebijakan menaikkan pajak hunian. Itu malah bisa menimbulkan efek domino,” paparnya.


Irine pun menilai, pendekatan represif seperti menaikkan pajak rumah tapak demi memaksa masyarakat tinggal di rusun atau apartemen bukanlah solusi berkelanjutan. Alih-alih mendorong adaptasi terhadap hunian vertikal, Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan perumahan rakyat tersebut menilai kebijakan ini justru menekan daya beli masyarakat serta membuat pasar properti domestik semakin tidak kompetitif.


“Kalau pajaknya mahal, tentu saja masyarakat akan menunda pembelian rumah tapak. Akibatnya, pengembang yang selama ini menggantungkan bisnisnya pada segmen rumah tapak bisa mengalami kerugian besar, bahkan gulung tikar. Jangan sampai niat mengubah pola huni malah merusak ekosistem usaha properti yang sudah terbentuk,” tambahnya.


Irine mengatakan, kebutuhan masyarakat terhadap rumah tapak tetap tinggi, terutama bagi keluarga muda dan masyarakat kelas menengah yang menginginkan ruang lebih luas, privasi, dan keamanan yang lebih fleksibel. 


Irine menyebut diperlukan kepastian regulasi dan arah kebijakan yang matang dan konsisten dalam sektor sebesar properti yang menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi nasional.


“Jangan ganggu stabilitas industri properti hanya karena ingin mempercepat perubahan pola hidup secara instan,” pungkasnya. 

Comments are closed.

Jalan Raya Pondok Gede Nomor 22, Desa/Kelurahan Jatirahayu, Kec. Pondokmelati, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat.

Exit mobile version