Anggota MPR RI, Willy Aditya. S.Fil., M.Ds., M.Sc, menegaskan bahwa Pancasila harus ditempatkan bukan sekadar sebagai hafalan formal, melainkan sebagai nilai yang hidup dalam keseharian masyarakat.
Perpustakaan MPR RI menyelenggarakan kegiatan Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat yang membedah buku karya Willy Aditya berjudul “Pancasila di Rumahku”, di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Selain Willy, hadir dalam acara ini yakni Sekretaris Jenderal MPR RI, Siti Fauziah, S.E., M.M, beserta jajarannya, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Sistem Informasi MPR RI, Anies Mayangsatri, S.IP., M.E, Kepala Biro Umum Herry Putra, S.H, Kepala Biro Persidangan & Pemasyarakatan Konstitusi Wachid Nugroho, S.IP., M.IP, dan Kepala Perpustakaan MPR, Yusniar SH.
Willy Aditya mengapresiasi kegiatan literasi ini sebagai bentuk upaya terus menggaungkan nilai Pancasila. Ia juga mengisahkan perjalanannya dalam mengenal dan mendalami Pancasila sejak duduk di bangku sekolah.
Literasi membaca, menulis, dan berdiskusi baginya menjadi bagian tak terpisahkan dalam membangun cara berpikir kritis tentang Pancasila. Ia juga menekankan kembali pernyataan fundamental dari Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945.
“Dalam pidato 1 Juni itu, Bung Karno mengatakan, ‘Saya ini bukan penemu Pancasila’. Beliau menegaskan hanya mensarikan nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya sudah ada dan hidup di tengah-tengah kita setiap hari,” papar Willy.
Menurutnya, pendekatan Bung Karno ini bersifat metodologis dan induktif, yang berarti Pancasila digali dari bawah, langsung dari kehidupan sosial masyarakat. Berbeda dengan cara pada masa Orde Baru melalui penataran P4, ketika Pancasila diajarkan dari atas ke bawah dan lebih menekankan pada hafalan.
“Selama ini kita sering terjebak meletakkan Pancasila sebagai cita-cita yang saleh di atas, seperti surga,” katanya, mengutip pandangan seorang Filsuf, Karlina Supelli.
Willy Aditya menegaskan bahwa Pancasila bukanlah sekadar hafalan, melainkan sebuah laku sosial (social life). Ia mencontohkan tradisi Pela Gandong di Maluku, di mana masyarakat Muslim dan Kristen saling membantu membangun tempat ibadah masing-masing, sebagai bukti nyata bahwa nilai toleransi sudah berakar di masyarakat.
“Pancasila ada di tengah kita every day, every time, every moment. Bung Karno meletakkan Pancasila itu sebagai way of thinking, way of life,” jelasnya.
Sebagai penutup, Willy mengajak semua pihak, terutama para pendidik, untuk tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai mitos atau hafalan semata.
“Kita harus keluar dari perspektif guru mengajarkan, murid menghafalkan,” tuturnya.
Tegasnya, Pancasila harus menjadi working value atau tatakan hidup keseharian yang tecermin dalam tindakan sederhana seperti saling tersenyum, menghormati perbedaan, dan bergotong royong. Ia menekankan bahwa tanggung jawab untuk membumikan Pancasila adalah tanggung jawab kolektif seluruh bangsa.
Senada dengan Willy Aditya, Sekretaris Jenderal (Sesjen) MPR RI, Siti Fauziah, menekankan bahwa Pancasila tidak cukup hanya untuk dibaca dan dihayati, tetapi yang terpenting adalah implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menyebut Pancasila sebagai ideologi yang terbukti mampu menjaga keutuhan dan kerukunan bangsa Indonesia.
“Pancasila adalah salah satu ideologi kita yang bisa menjaga kerukunan bangsa. Pancasila inilah yang dapat menjaga negara kita sampai saat ini,” tegasnya.
Ia juga turut menyoroti tantangan menurunnya minat baca di kalangan generasi muda di tengah era digital. Karenanya diperlukan upaya besar untuk kembali menggalakkan literasi, salah satunya dengan membedah buku, sebagai fondasi pengetahuan.
“Membaca ini sudah banyak hal yang ditinggalkan. Untuk kembali membaca buku, effort kita harus besar karena sekarang adalah zamannya Gen Z yang selalu memegang gawai (HP),” ujar Siti Fauziah,
Kegiatan yang dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai universitas, termasuk Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, ini diharapkannya dapat menjadi wadah untuk menumbuhkan kembali semangat literasi.
“Saya berharap kegiatan ini dapat bermanfaat untuk kita semua, menjadi masukan dalam keseharian kita, dan kehidupan kita selanjutnya,” kata Siti Fauziah.
Mengakhiri sambutannya, Ia berharap kegiatan literasi seperti “Bicara Buku” dapat terus diselenggarakan secara rutin dengan membahas berbagai karya inspiratif lainnya di masa mendatang.
“Membaca dan menulis itu satu paket. Tapi outcome-nya adalah critical thinking, yang terbangun melalui diskusi,” tandasnya.
Untuk diketahui, acara ini kemudian dilanjutkan dengan pemberian plakat dari Perpustakan MPR RI yang diserahkan oleh Siti Fauziah kepada Willy Aditya. Sebaliknya, Willy Aditya juga menyerahkan buku yang didampingi oleh jajaran Sekjen MPR RI.
Selanjutnya dilaksanakan forum diskusi terkait Pancasila dengan mengundang dua narasumber, yaitu Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Epin Saepudin, M.Pd, dan Founder Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari, S.E., M.A, serta dimoderatori oleh Panyiar Televisi, Rahma Sarita Aljufri, SH.